Seandainya...
Nilai UKG transparan
Tidak berlindung di balik dua warna
Guru tidak akan bingung
Karena bisa mengukur capaian kompetensinya dengan akurat
Seandainya...
Satu kali UKG hanya diterapkan satu KCM
Guru tidak akan bingung
Mengapa nilai merahnya bertambah banyak
Padahal merasa belum pernah UKG lagi
Seandainya...
Raport UKG 2015
Warnanya merah semua
Perlu berapa tahun untuk menghijaukannya?
Melalui GPO
Lantas PKB
Ibarat penyakit
Yang sakit menjadi sembuh
Namun yang sehat tiba-tiba menjadi sakit...
Karena tidak terjaring GPO dan PKB
Pojok Iswi
Sabtu, 23 Desember 2017
Jumat, 22 April 2016
Antara Joki Parkir dengan Joki Mengajar
HU Pikiran Rakyat (Jum’at,
22/4-2016) memberitakan, penemuan karcis palsu di wilayah kota Cimahi. Pada
karcis palsu, tarifnya Rp.3500,- untuk parkir truk/bus, serta Rp.2000,- untuk
minibus/mobil pribadi dan motor. Sementara dalam Perda No. 3/2012 tentang
Retribusi Jasa Umum, tarif parkir motor hanya Rp.500,- dan mobil Rp.1000,-.
Karcis palsu yang dipakai juru parkir liar didapat dari juru parkir resmi.
Petugas resmi melimpahkan tugas parkirnya ke joki dan dibekali karcis palsu.
Dia tinggal menarik bayaran.
Dalam
dunia pendidikan, ada yang disebut joki mengajar. Guru resmi tidak mengajar.
Jam mengajar guru lain yang sejenis mata pelajarannya diambil, sedangkan
insentif mengajar untuk guru yang mengajar. Ada juga guru walaupun sudah lulus
sertifikasi, ironisnya tidak layak mengajar, sehingga membayar guru honor
menggantikannya mengajar. Hal ini ditempuh karena demi mengejar Tunjangan
Sertifikasi Guru (TPG) supaya cair, yang mengsyaratkan kewajiban mengajar 24
jam/minggu.
Dalam
kasus joki parkir di Cimahi, meski para juru parkir liar melanggar hukum, belum
ada tindakan dari Dishub Cimahi yang mengarah pidana, walaupun tindakan para
juru parkir liar ini merugikan masyarakat. Dalam kasus joki mengajar di dunia
pendidikan, joki mengajar sulit ditindak, karena selain ada kongkalikong, juga
tidak ada pengawasan/pemeriksaan dari Inspektorat. Kesannya seperti dibiarkan,
dan dianggap sebagai urusan intern sekolah.
Minggu, 17 Mei 2015
Joki Mengajar dalam Sertifikasi Guru
Dalam PP 74 Tahun 2005 tentang guru disebutkan, bahwa guru
bersertifikat wajib mengajar 24 jam sepekan. Bagi yang belum memenuhi target,
terpaksa mensiasatinya dengan memegang jabatan fiktif atau bahkan memanfaatkan
jam mengajar guru honor. Yang membuat miris, ada guru bersertifikat menggunakan
jasa joki karena tidak berkemampuan mengajar. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Kejadiannya adalah, guru A setelah lulus sarjana pendidikan mata pelajaran X
tidak pernah mengajar. Anehnya, walaupun tidak mengajar, guru A dengan lancar
berhasil naik ke golongan IV/A. Ketika program sertifikasi diluncurkan, guru A oleh
sekolah diikutsertakan. Sungguh ajaib, melalui 2 kali remedial, akhirnya guru A
berhasil lulus dan mendapatkan sertifikat sebagai “guru profesional mata
pelajaran X”. Dan yang meluluskannya adalah salah satu LPTK terbaik se-Indonesia.
Setelah lulus, guru A tidak ada perubahan artinya tetap TIDAK BERKEMAMPUAN
mengajar, walaupun sudah diberi kesempatan mengajar berkali-kali. Tentunya yang
menilai adalah siswa. Akhirnya guru mata pelajaran sejenis menggantikannya,
tentu kedudukannya sebagai joki, karena jam mengajarnya tetap atas nama guru A.
Saya ngeri membayangkan kejadian nyata ini ada di salah satu
sekolah favorit. Yang membuat saya heran, guru A ini sangat dilindungi privasinya,
bahkan diusulkan mendapatkan penghargaan dari walikota mengingat masa kerjanya
sudah lebih dari 30 tahun.
Saya selalu ingat akhir kalimat dari “SURAT PERNYATAAN
MELAKSANAKAN TUGAS”. Di sana tertulis, bahwa mengingat sumpah jabatan dan
apabila di kemudian hari isi pernyataan tidak benar yang mengakibatkan kerugian
terhadap Negara, maka saya bersedia menanggung kerugian tersebut. Akan tetapi
apakah benar guru A mengerti dan memahami surat pernyataan tersebut? Dan
mengapa Pengawas serta Kepala Sekolah menandatanganinya kalau isinya tidak
benar?
Kamis, 16 April 2015
Sebelas Guru Dipenjara Gara-gara Membiarkan Siswanya Saling Menyontek
ATLANTA -
Sidang kasus kecurangan sistemik sekolah-sekolah negeri tingkat dasar
dan menengah di Kota Atlantik mencapai tahap akhir. Selasa waktu
setempat (14/4), Pengadilan Tinggi Fulton County membacakan vonis bagi
sebelas pendidik yang terlibat dalam skandal masif tersebut. Adu mulut
sempat mewarnai persidangan.
Sebelumnya, seluruh terpidana dinyatakan bersalah pada sidang 1 April lalu. Saat itu, seorang terdakwa dinyatakan bebas. Selasa lalu, giliran hakim Jerry Baxter membacakan vonis untuk para terpidana. Satu per satu terpidana menghadap Baxter. Didampingi pengacara masing-masing, para guru dan kepala sekolah serta penanggung jawab ujian itu mendengarkan vonis.
Ketegangan sempat mewarnai persidangan saat hakim beradu argumen dengan pengacara. Itu terjadi karena sebagian terpidana tidak langsung mengakui kesalahan mereka. 'Semua orang mulai berteriak-teriak mengomentari (membela) para terpidana ini. Ini bukanlah kejahatan yang tanpa korban!' seru Baxter di hadapan para seluruh terpidana dan tim pembela.
Beberapa kali nada suara Baxter terdengar meninggi. Tetapi, pengacara-pengacara para terpidana itu pun tidak kalah ngotot. Bahkan, salah seorang pengacara mengancam akan mendiskualifikasi Baxter yang dianggap menjatuhkan hukuman terlalu berat kepada kliennya. Tetapi, Baxter bergeming. 'Saya bisa mengirim Anda ke penjara sekalian,' tegasnya.
Pengacara Sharon Davis-Williams, guru yang diganjar hukuman tujuh tahun penjara, tidak menerima putusan yang dijatuhkan Baxter. Dia sempat mengajukan protes. 'Semua orang tahu bahwa kecurangan sedang terjadi dan klien Anda malah melakukannya,' tegas Baxter menanggapi protes sang pengacara. Selain dimasukkan sel, Davis-Williams dikenai denda dan kerja sosial 2.000 jam.
Sepuluh terpidana yang lain juga dikenai denda dan kerja sosial oleh Baxter. Pengadilan menjatuhkan vonis yang berat untuk memberikan efek jera kepada para terpidana. Sebab, menurut Baxter, praktik kecurangan lewat memberikan jawaban, mengubah jawaban siswa, dan membiarkan siswa saling menyontek saat ujian berlangsung itu harus dihentikan.
Di akhir persidangan, Baxter menjatuhkan vonis maksimal tujuh tahun. Rata-rata para terpidana itu diganjar hukuman kerja sosial atau denda. Para terpidana pasrah menerima hukuman yang ditetapkan Baxter. Tetapi, publik Atlanta terbelah menanggapi vonis bagi para pendidik itu. Sebagian menganggap hakim terlalu kejam dan sebagian yang lain mendukung penuh kebijakan pengadilan.
Akibat tindakan curang para guru dan kepala sekolah serta penanggung jawab ujian itu, Dinas Pendidikan Negara Bagian Georgia tidak bisa memetakan secara tepat perkembangan sekolah-sekolah negeri di Atlanta. Sebab, para terpidana itu mengaburkan data lewat rekayasa nilai ujian. Selain menguntungkan siswa, kecurangan sistemik itu membuat rapor merah sejumlah sekolah lenyap.
Kecurangan yang pertama terungkap pada 2009 itu, kabarnya, berlangsung sejak 2001. Tetapi, untuk kasus yang disidangkan sekitar enam tahun terakhir ini, pengadilan hanya menggunakan data-data dari 2009 sampai sekarang. Data-data dari tahun yang terbatas itu pun sudah mampu mengirim para pendidik tersebut ke balik jeruji besi. (AP/CNN/New York Times/hep/c4/dos/jpnn)
Sebelumnya, seluruh terpidana dinyatakan bersalah pada sidang 1 April lalu. Saat itu, seorang terdakwa dinyatakan bebas. Selasa lalu, giliran hakim Jerry Baxter membacakan vonis untuk para terpidana. Satu per satu terpidana menghadap Baxter. Didampingi pengacara masing-masing, para guru dan kepala sekolah serta penanggung jawab ujian itu mendengarkan vonis.
Ketegangan sempat mewarnai persidangan saat hakim beradu argumen dengan pengacara. Itu terjadi karena sebagian terpidana tidak langsung mengakui kesalahan mereka. 'Semua orang mulai berteriak-teriak mengomentari (membela) para terpidana ini. Ini bukanlah kejahatan yang tanpa korban!' seru Baxter di hadapan para seluruh terpidana dan tim pembela.
Beberapa kali nada suara Baxter terdengar meninggi. Tetapi, pengacara-pengacara para terpidana itu pun tidak kalah ngotot. Bahkan, salah seorang pengacara mengancam akan mendiskualifikasi Baxter yang dianggap menjatuhkan hukuman terlalu berat kepada kliennya. Tetapi, Baxter bergeming. 'Saya bisa mengirim Anda ke penjara sekalian,' tegasnya.
Pengacara Sharon Davis-Williams, guru yang diganjar hukuman tujuh tahun penjara, tidak menerima putusan yang dijatuhkan Baxter. Dia sempat mengajukan protes. 'Semua orang tahu bahwa kecurangan sedang terjadi dan klien Anda malah melakukannya,' tegas Baxter menanggapi protes sang pengacara. Selain dimasukkan sel, Davis-Williams dikenai denda dan kerja sosial 2.000 jam.
Sepuluh terpidana yang lain juga dikenai denda dan kerja sosial oleh Baxter. Pengadilan menjatuhkan vonis yang berat untuk memberikan efek jera kepada para terpidana. Sebab, menurut Baxter, praktik kecurangan lewat memberikan jawaban, mengubah jawaban siswa, dan membiarkan siswa saling menyontek saat ujian berlangsung itu harus dihentikan.
Di akhir persidangan, Baxter menjatuhkan vonis maksimal tujuh tahun. Rata-rata para terpidana itu diganjar hukuman kerja sosial atau denda. Para terpidana pasrah menerima hukuman yang ditetapkan Baxter. Tetapi, publik Atlanta terbelah menanggapi vonis bagi para pendidik itu. Sebagian menganggap hakim terlalu kejam dan sebagian yang lain mendukung penuh kebijakan pengadilan.
Akibat tindakan curang para guru dan kepala sekolah serta penanggung jawab ujian itu, Dinas Pendidikan Negara Bagian Georgia tidak bisa memetakan secara tepat perkembangan sekolah-sekolah negeri di Atlanta. Sebab, para terpidana itu mengaburkan data lewat rekayasa nilai ujian. Selain menguntungkan siswa, kecurangan sistemik itu membuat rapor merah sejumlah sekolah lenyap.
Kecurangan yang pertama terungkap pada 2009 itu, kabarnya, berlangsung sejak 2001. Tetapi, untuk kasus yang disidangkan sekitar enam tahun terakhir ini, pengadilan hanya menggunakan data-data dari 2009 sampai sekarang. Data-data dari tahun yang terbatas itu pun sudah mampu mengirim para pendidik tersebut ke balik jeruji besi. (AP/CNN/New York Times/hep/c4/dos/jpnn)
Kamis, 12 September 2013
Mutu Siswa, Guru dan Ujian Nasional
Berita
pikiran-rakyat.com (22/8-2013) menyebutkan, 300 mahasiswa sebuah PTN terancam
di DO karena IP < 2,00. Bertolak belakang dengan berita di atas, di sekolah
tertentu justru menaikkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) supaya kalau siswa
mendapat nilai rendah dalam Ujian Nasional (UN) siswa bisa lulus sekolah,
karena kelulusan siswa ditentukan 40% Nilai Sekolah 60% Ujian Nasional. Dengan
nilai semu (hasil katrolan), beberapa siswa tidak dapat mengukur potensi
akademik “yang sebenarnya” ketika melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Akhirnya
yang dialami mahasiswa adalah kegagalan, seperti berita di atas, selain mungkin
ada faktor penyebab yang lain.
Berikut
adalah kasus yang penulis catat dari berita HU Pikiran Rakyat. Siswa SMP belum
bisa baca tulis hitung. Anehnya, siswa tsb. bisa lulus UASBN dengan nilai
kelulusan baik (6/12-2011). Siswa SMA belum bisa baca dan tulis. Anehnya, siswa
tsb. memperoleh nilai UN melampaui passing grade salah satu SMAN (29/7-2011).
Kalau mutu siswa seperti ini, siapa yang bertanggungjawab? Bagaimana bisa UN
dijadikan alat evaluasi sistem pendidikan?
Sebagian
siswa kini terjebak pendidikan hipokrit, karena mengejar KKM tinggi tanpa daya
dukung yang memadai. Sebagian siswa yang lain menjadi apatis dan kehilangan
motivasi belajar, karena serendah apa pun nilai ulangan yang diperoleh, sekolah
akan mengatrolnya. Agenda sekolah yang berusaha meluluskan siswanya 100% dan
meloloskannya sebanyak mungkin masuk PTN melalui jalur undangan telah menghancurkan sistem imun guru idealis
(kemampuan untuk menolak sistem). Yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah
“sakit jiwa” pendidikan, biang keladinya adalah KKM yang dibuat oleh
guru/sekolah tidak mengacu kepada kemampuan siswa yang sebenarnya, sehingga
siswa yang kemampuannya masih rendah “dipaksa” untuk mencapai KKM, sehingga
dalam perjalanannya sering terjadi “error” seperti tugas remidi yang hanya
sekedar formalitas, bahkan yang lebih parah nilai ditukar dengan barang (tas,
uang, buku dsb.). Pendidikan yang hancur lebur ini sangat memprihatinkan. Mau
seperti apa generasi mendatang kalau kondisi ini dibiarkan?
Kamis, 11 Juli 2013
Nepotisme dalam PPDB Berlanjut
PPDB (Penerimaan
Peserta Didik Baru) di beberapa sekolah negeri, terutama di kota besar, sudah
selesai. Bagi calon siswa yang diterima, sekolah negeri mewajibkan daftar
ulang. Sedangkan bagi calon siswa yang tidak lolos seleksi, terpaksa harus
mencari sekolah lain (sekolah swasta).
Sejak
tahun 2005 saya sudah mengkritisi nepotisme dalam penerimaan siswa baru di
media cetak. Tulisan saya di media cetak dimuat di Galamedia “Sistem PSB Perlu
Dibenahi” (6/6-2005), koran PR dengan judul “Benahi Serius Sisten PSB”
(9/6-2005), “Nurani Guru dalam PSB” (Kompas, 22/5-2007), “Nepotisme dalam PSB”
(Kompas, 11/1-2008), “Pendidikan Gratis Tidak Adil, Guru Sakit Hati” (Kompas,
2/6-2009). Kemudian berlanjut di media online (GuruAntiKorupsi, 13/5-2009). Sampai
tahun ajaran sekarang, nepotisme bukannya dikikis habis seiring dengan
pendidikan karakter, malah difasilitasi, bahkan ada yang dilegalkan melalui
perwal dengan label “Bina Lingkungan” atau “Ramah Lingkungan”. Hal ini
bertentangan dengan instruksi Presiden No. 17 Tahun 2011 tentang Aksi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012
tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Seperti
yang terjadi di Semarang, surat sakti jadi “free pass”, modus siswa titipan
lolos seleksi rusak sistem pendidikan (SM Cetak, 4/7-2013) dan penambahan poin
nilai kemaslahatan bagi anak guru (SM Cetak, 3/7-2013). Di kota besar lain, ada
sekolah-sekolah negeri tertentu yang juga memfasilitasi anak guru dan tenaga
kependidikan tanpa proses seleksi (bahkan DSP dan SPP pun digratiskan), sehingga ada calon siswa yang posisinya dikalahkan
oleh anak guru yang nilai ujian nasionalnya lebih rendah, karena orangtuanya
mengajar di sekolah itu (Tribunnews.com, 5/7-2013). Di sekolah negeri tertentu,
jalur Bina Lingkungan menjadi pintu masuk anak kerabat guru, komite sekolah
dsb.
Ketika
Ayah saya masih menjabat dosen salah satu Perguruan Tinggi terkemuka, beliau
tidak mau memanfaatkan jabatannya untuk memasukkan saya ke salah satu fakultas
yang saya minati. Kini saya menjabat sebagai guru PNS, saya pun melakukan hal
yang sama yaitu tidak menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Saya
tidak ingin menyakiti calon siswa lain yang notabene tidak mempunyai akses
pendidikan dengan melakukan jalan pintas. Sebaliknya, saya pun selalu menolak
kalau ada orangtua yang menitipkan anaknya tidak sesuai prosedur.
Selasa, 11 Juni 2013
Inflasi Nilai di Sekolah
Inflasi
yang ditimbulkan akibat ditundanya kenaikan harga BBM semakin meroketkan
inflasi. Ada sejumlah variabel lain yang mendongkrak inflasi, antara lain tahun
ajaran baru pendidikan, bulan Ramadhan, kenaikan harga elpiji, dan kenaikan
tarif tenaga listrik (Kompas cetak, 11/6-2013). Inflasi juga terjadi di sekolah.
Tingginya standar nilai (KKM) dan pengabaian terhadap tingkat kemampuan
rata-rata siswa menimbulkan inflasi nilai. Penyebabnya, sekolah mengejar kelulusan
100% baik dalam kenaikan kelas, Ujian
Sekolah maupun Ujian Nasional, sementara mutu guru, mutu manajemen sekolah
serta kelengkapan sarana prasarana terabaikan.
Kenaikan
harga akan memukul rakyat (Kompas cetak, 11/6-2013). Kenaikan nilai yang
mengabaikan kemampuan siswa yang sebenarnya akan melahirkan generasi yang
lemah.
Langganan:
Postingan (Atom)